Mengingat Kematian, Salah Satu Cara untuk Menjauhi Thulul Amal

AMC- Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa salah satu cara yang ditempuh untuk menjauhi thulul amal (panjang angan-angan) adalah dengan mengingat kematian. 

“Mengingat kematian yaitu dengan mengingat semua rangkaian kematian. Mulai dari sakaratul maut, ketika dimandikan, dikafani, digotong, dan dikubur. Dan yang paling ditakutkan adalah ketika seseorang mengingat kematian dengan perasaan biasa-biasa saja. Tanpa ada rasa khawatir sedikit pun.” Ungkap KH Ahmad Mahrus Iskandar dalam kegiatan rutinan mahasantri, Ngaji Kitab Minhaj al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, Senin, (06/03).

Kematian akan datang sesuai dengan kebiasaan yang ia lakukan. Misalnya seseorang suka main kartu atau domino semasa hidupnya. Dan ia tidak punya usaha untuk bertaubat. Maka ketika ajalnya tiba, ia akan mati dalam keadaan main kartu atau domino.

“Kita adalah manusia biasa, yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Namun hal terpenting yang dilakukan adalah ketika kita berbuat dosa, kita langsung bertaubat kepada Allah SWT. Salah satu bentuk penyesalan adalah dengan melakukan kebaikan di tempat kita melakukan dosa. Karena nanti di akhirat kelak, tempat-tempat itu akan menjadi saksi terhadap semua yang kita lakukan.” Jelas beliau.

Imam Ghazali juga selalu menganjurkan agar kita melaksanakan shalat sunnah taubat dalam shalat sunnah rawatib. Sebagai usaha untuk meminta ampun pada Allah. Begitu juga dengan selalu beristighfar. 


“Bacalah istighfar jika kita melakukan suatu kesalahan. Meskipun dalam bercanda berlebihan, yang menyebabkan tertawa terbahak-bahak. Karena Rasulullah Saw pernah menegur sahabat yang bercanda, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Ketika ditegur sahabat itu langsung beristigfar.” Imbuh Khadimul Ma’had Asshiddiqiyah Jakarta tersebut. 

Dalam kitab Siraj ath-Thalibin dijelaskan salah satu cara agar kita senantiasa mengingat kematian yaitu dengan ziarah kubur. Diantara manfaatnya adalah mengingat kematian, membuat agar kita tidak hubb ad-dunya (mencintai dunia), melembutkan hati, membuat menangis, agar hati tidak sombong. 

“Karena jika seseorang masih bisa menangis, berarti ia dijauhkan oleh Allah SWT dari sifat sombong.” tegas beliau. 

Dalam kesempatan tersebut, Gus Mahrus juga menjelaskan mengenai sifat hasud (iri) dan ghibtah. Hasud adalah menginginkan sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, dengan niat menghancurkan atau melenyapkan nikmat tersebut. Sedangkan ghibtah adalah menginginkan sesuatu yang seperti orang lain. Tanpa berniat agar nikmat itu hilang. 

Hasud tidak diperbolehkan kecuali pada dua hal yaitu; pada orang yang Allah beri harta dan ia mampu mengelolanya dalam kebenaran. Dan orang yang Allah beri ilmu dan ia menggunakan ilmu itu untuk kebaikan atau yang berhubungan dengan Al-Qur’an." Pungkas Kiai alumni Yaman tersebut. 

Makanya di dalam doa kita selalu melantunkan Allahumma irhamna bi Al-Qur’an "Ya Allah kasihilah kami dengan Al-Qur’an". KH. Mahrus Iskandar juga menganjurkan santri untuk membaca surah al-Mulk, ar-Rahman dan al-Waqiah. Karena ketiga surah ini mengandung fadilah yang sangat besar. (Robi'ah) 

  • Tulisan ini merupakan catatan ringkas Kajian Kitab Minhajul Abidin yang diampu oleh KH. Mahrus Iskandar, B.Sc (Khadimul Ma'had Asshiddiqiyah Jakarta) secara rutin tiap Senin malam.
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :