AMC -Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta kembali menggelar acara harlah yang biasa dilakukan satu kali dalam satu tahun. Sebelum diadakannya puncak harlah pada hari Sabtu, (10/09) Pondok Asshiddiqiyah mengadakan lima sampai enam seminar untuk memeriahkan acara ini.
Seminar Nasional satu Abad NU dengan tema fikih peradaban menjadi salah satu acara rangkaian Harlah ke-37 tahun ini. Alasan diambilnya tema Fikih Peradaban dalam seminar satu abad berdirinya NU adalah agar para ulama mempercakapkan diri dalam masalah fikih peradaban. Fikih peradaban dalam arti kata, tidak lagi hanya mempercakapkan dalam persoalan Indonesia, namun dalam skala yang lebih besar lagi yaitu soal perkembangan tata dunia. Para ulama dan santri NU diharapkan memiliki wawasan mengenai perubahan-perubahan tata dunia ini, ungkap DR. Rumadi Ahmad, MA dalam Halaqah Nasional Satu Abad NU, Rabu (07/09) di pondok pesantren Asshiddiqiyyah Jakarta.
K.H Mahrus Iskandar sangat bahagia dan antusias menyambut seminar yang diadakan di pondok ini. Hal ini terlihat ketika beliau memberikan sambutan dalam acara ini.
Empat perubahan peradaban yang harus oleh warga Nahdatul Ulama sebagai bagian dari warga dunia yaitu, perubahan tata politik dunia terkait peta politik dan identitas agama, perubahan demografi, dan perubahan komposisi penduduk, perubahan standar norma serta perubahan karena globalisasi. Jelas DR. Rumadi.
“NU adalah organisasi yang tidak bersandar kekuatannya kepada politik negara, sehingga mereka mampu bertahan dan tidak runtuh. Itulah model yang kita kelola saat ini untuk menjawab berbagai perubahan dan inflikasi dari perubahan-perubahan yang ada”, ungkap beliau di akhir materinya.
Karena kita hidup di kota, maka lebih teknis lagi bagi kita mengambil istilah “tata kota” dari pada peradaban. Langkah pertama yang dilakukan dalam menata kota adalah dengan hal-hal yang berhubungan dengan keserikatan.
“Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, api dan pangan. Dalam hal ini pemerintah harus mampu mengelolanya dengan baik dan secara khusus. Sehingga penataan kota akan baik”, ungkap Kiai Syamsul Ma’arif dari Tandzifiyah.
“Orang yang memuliakan manusia berarti ia telah memuliakan penciptanya dan orang yang menghinakan atau menistakan manusia berarti ia menghinakan penciptanya. Mari kita dahulukan kemanusiaan daripada keberagaman” closing statement dari ustadz Nur Salikin M.A selaku moderator dalam seminar ini.
Seminar ini dihadiri oleh para Asatidz, para kiai dan mahasantri. Seminar ini terkesan lebih menarik dikarenakan berbeda dengan seminar-seminar pada umumnya, yaitu melalui sistem diskusi.(Robiah)
0 komentar :
Posting Komentar