Ibu Nyai Badriyah Fayumi: Undang-Undang Pesantren merupakan Keniscayaan Sejarah, bukan Hadiah Cuma- cuma


AMC -Majelis Masyayikh berdiri dengan mekanisme orang-orang pesantren. Dari pesantren, bekerja untuk pesantren dengan tujuan mewujudkan Undang- Undang Pesantren. Hal ini disampaikan anggota Majelis Masyayikh Nyai Hj. Badriyah Fayumi saat mengawali Sosialisasi Undang- Undang Tentang Pesantren dan Majlis Masyayikh di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta, Rabu (14/12).

Adanya UU Pesantren merupakan sesuatu yang seharusnya. Bahkan jika dibandingkan dengan kontribusi pesantren selama ini untuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, keberadaan undang-undang ini merupakan sesuatu yang terlambat. 

Tiga elemen penting menjadikan faktor mulusnya proses pengesahan Undang-Undang Pesantren yang disahkan pada tahun 2019 ini. Diantaranya, civil socety yang mana ini adalah masyarakat pesantren sendiri, dimana mereka kuat dan solid. Lembaga legislatif pula turut andil dalam mempermudah pengesahan ini dengan adanya para santri yang berkiprah didalamnya.

"Kita punya wakil presiden santri, kira punya menteri agama beserta jajarannya santri. Dan ketiga komponen diataslah yang kemudian berkolaborasi menghasilkan Undang- Undang Pesantren. Salah besar kalau ada anggapan bahwa undang-undang Pesantren itu hadiah dari Pemerintah. Undang-undang Pesantren merupakan keniscayaan sejarah, yang merupakan hasil perjuangan kita semua," tegasnya.

Disamping itu tentu saja pemerintah memberikan dukungan dan komitmennya dalam merealisasikan undang-undang tersebut. Akan tetapi jelas ini bukan hadiah cuma-Cuma yang diberikan pemerintah kepada pesantren.

Situasi sosial politik terkait dinamika relasi pesantren dengan pemerintah pada masa orde baru mengalami perjalanan yang terjal dan panjang. Maka, adanya undang-undang ini merupakan sebuah pencapaian bersama yang prosesnya diawali sejak era reformasi. 

"Era reformasi memungkinkan santri bisa membuat partai sendiri, santri bisa menjadi bupati, wali kota, gubernur, presiden. Sehingga disitulah santri memiliki akses dan kesempatan langsung untuk ikut membuat dan merumuskan kebijakan di negeri ini. Tidak benar uu pesantren itu adalah hadiah dari pemerintah, itu adalah pencapaian bersama dari proses panjang para santri," ungkap beliau.

Beliau juga menegaskan salah besar jika ada yang berpikiran bahwa hadirnya Undang-Undang Pesantren itu untuk mengintervensi pesantren atau mengooptasi pesantren. Itulah mengapa diadakannya majlis masyayikh. Dimana dalam undang undang mereka merupakan representasi dari dewan masyayikh dari masing-masing pesantren. Singkatnya dewan masyayikh adalah perwakilan pesantren. 

Hanya saja negara mempunyai kewajiban konstitusional, maupun yuridis untuk menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya. Sehingga majelis masyayikh ini dipayung hukumi oleh Kementerian Agama. Majelis masyayikh ini memang terhubung dengan negara, tetapi sesungguhnya itu merupakan representasi dari pesantren itu sendiri. 

"Jadi kami bukan kepanjangan tangan pemerintah, kami itu kepanjangan tangan dari dewan masyayikh, kepanjangan tangan dari pesantren. Tentunya sebagai warga yang berbangsa dan bernegara kita tidak bisa lepas dari pemerintah", pungkas Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina itu.

Tampak hadir pula pada kesempatan tersebut Khodimul Ma'had Asshiddiqiyah Jakarta KH. Mahrus Iskandar, KH. Yusuf Mansur, Ketua Umum FBR Kiai Lutfi Hakim dan para bapak dan ibu Nyai dari berbagai pesantren sekitar. (Maylita)
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :