Gus Nadir ; Saatnya santri Turun Gunung Mengisi Media Sosial


AMC-Menilik fenomena di Indonesia dengan masyarakat yang minat bacanya sangat kecil, namun sering mendalili orang tanpa landasan, miris memang. Seiring pesatnya kemajuan teknologi, kita dipaksa untuk "melek" dalam segala hal, termasuk media sosial.
Sudah waktunya bagi kalangan santri turun untuk meramaikan media sosial -dengan hal positif tentunya. Karena sekarang ini semakin banyak kalangan yang hanya mengandalkan mesin pencari google sebagai -sanad dalam- sumber keilmuannya.
Bagaimana ini bisa terjadi ? Bermodalkan terjemah al-Qur'an dan "kyai google", mereka sudah bisa berfatwa, menilai islam iman seseorang bahkan men-judge orang lain kafir. Mereka diberi referensi tafsir al-Qur'an -yang padahal darinya kita bisa mengerti seluk beluk tentang ayat tersebut- namun mereka menolaknya dengan dalih lebih mempercayai al-Qur'an. Bagaimana mungkin, tafsir dengan nash al-Qur'an bertentangan ? Ini berbahaya. Maka dari itu, kita harus mengisi media sosial dengan hal yang positif, salah satunya menuangkan kajian keilmuan pesantren seperti ilmu al-Qur'an, akhlak dan sebagainya dalam media sosial.
Mengutip tulisan Prof. Nadirsyah Hosen, Ph.D dalam bukunya yang berjudul "Tafsir al-Qur'an di Medsos" yang diluncurkan di ponpes Asshiddiqiyah Jakarta, ia katakan, membaca bukan sekedar mengeja kata. Saat kita membaca sebuah tulisan, apa yang kita cari dari bacaan itu ? Sekedar hiburan atau hendak dapat info baru ? Carilah jiwa penulisnya, raih imajinasinya dan resapi energinya. Tulisan yang bagus ialah tulisan yang menyodorkan jiwa pemilik kata dan kalimat pada pembaca. Mari sekarang anda membuka al-Qur'an, anda sudah tahu apa yang anda inginkan. Al-Qur'an itulah buku terbaik.
Dimoderatori oleh Kiang Maman Suherman, Ridho Slank yang menjadi tamu sekaligus pembahas dalam acara launching buku- mendapat giliran pertama membahas buku karya Gus Nadir tersebut. Mengenai dunia musik yang ia geluti sempat terjadi kontra, dalam Islam musik itu haram. Ia hanya bisa berujar semua tergantung niat baiknya. Namun setelah membaca buku "Tafsir Al-Qur'an di Medsos" ia dapati jawabannya.
Semua orang memiliki cara dan tempat berdakwahnya masing-masing, musik itulah ia bawa sebagai cara berdakwahnya. Ia katakan sangat perlu bagi kita memperdalam al-Qur'an dengan ilmu tafsirnya kepada orang yang memang ahlinya, tentu dengan penjelasan dan pemahaman yang benar. Jawaban itu lalu diperjelas oleh penulis bukunya langsung, bahwa musik merupakan metode berdakwah. Lihat saja zaman Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ajaran Islam begitu diterima dengan mudahnya akibat sentuhan seni sastra dalam syiarnya. Lalu betapa indahnya ushlub -gaya bahasa- al-Qur'an yang kala itu diturunkan di zaman jahiliyah, dimana manusia yang keras hatinya dapat lembut luluh karena indahnya sastra puitis al-Qur'an. Mengenai keharaman musik hingga saat ini terus menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ibnu Hazm dan Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan tidak ada periwayatan hadits yang shahih mengenai haramnya bermusik.
Pembahasan dari ketua umum fatayat NU, Anggia Ermarini agak sedikit berbeda menanggapi isi buku tersebut. Spontan ia katakan buku tersebut mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara umum. Mengingat generasi zaman ini disebut generasi millenial, mereka mengetahui banyak hal namun tidak sepenuhnya. Ilmu mereka belum mantap karena hanya didapat dari media sosial tanpa mengkaji benar-benar dari sumbernya. Padahal di dalam al-Qur'an banyak ilmu teologi, aqidah, hukum dan akhlak namun yang sering diangkat di dunia medsos hanya melulu hukum saja. Akhlak itulah yang seharusnya diutamakan, agar mereka beradab dalam menyuarakan pendapatnya di medsos, tidak saling tuduh kafir, juga tidak "kagetan" dengan segala perbedaan. Melihat seberapa pentingnya ilmu akhlak, Rasulullah saw sendiri diutus oleh Allah swt  untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dari pihak fatayat NU sangat mengapresiasi buku Gus Nadir yang dapat dipahami semua kalangan. Setiap zaman mengalami dinamika yang berbeda, kita harus mampu menyesuaikan. Medsos itulah yang semakin penting -hingga kita diharuskan "melek" media sosial- untuk membumikan ilmu dan nilai-nilai agama dengan benar. Kita dituntut mampu merespon segala macam perubahan yang terjadi seraya menguatkan iman dan islam sehingga kita bisa menghadapinya dengan baik.
Pengasuh ponpes Asshiddiqiyah KH. Ahmad Mahrus Iskandar mengenai buku Gus Nadir, beliau berkomentar buku tersebut sangat bagus, dan menyebutkan referensi tafsir secara lengkap dan konten bahasannya mengenai hal yang sering dibahas orang awam mengenai tafsir al-Qur'an. Jawaban beliau ketika ditanya mengenai kekhawatiran eksistensi pesantren akan tergeser oleh pesantren digital, beliau katakan perkembangan pesat pesantren tidak hanya dilihat dari masa tertentu saja. Perlu diketahui bahwa ruh jiwa pesantren itu sendiri ialah tanah yang berkah. Sebesar apapun pesantrennya, sebanyak apapun santrinya tidak akan berhasil dan barakah bila tidak dibarengi niat kyai yang sungguh-sungguh serta tanahnya yang barakah.

Dakwah digital hanya sebagai alat, eksistensinya tidak akan menggeser pesantren sebagai tempat kajian ilmu yang tak mudah goyah seiring perkembangan zaman. Pesantren pun tetap mengembangkan dakwah di media sosial tentunya dengan dasar referensi yang tak sembarangan. Beliau tegaskan bahwa pondok pesantren tidak akan tergerus -apalagi tergeser eksistensinya- selama kyai, ustadz dan para santrinya tetap menjaga totalitas kesungguhannya dalam syiar Islam. (MH)
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :