KH Mahrus Iskandar: “Pentingnya Mempersiapkan Segala Sesuatu dengan Matang”


AMC - Setiap perbuatan butuh bekal dan persiapan yang matang. Persiapan yang dimaksud di sini adalah segala bentuk pertimbangan (tawaqquf). Caranya dengan menimbang segala sesuatu mengenai baik atau buruknya suatu perkara. Sehingga nanti, kita siap untuk menerima segala konsekuensi yang ada, jelas Gus Mahrus dalam kegiatan rutinan Mahasantri “Ngaji Kitab Minhaj al-‘Abidin karya Imam Al-Ghazali,” di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta, Senin, (22/06).

“Misalnya saja dalam ibadah. Ibadah tidak hanya mencakup rukun saja, tapi mencakup syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bahkan dalam syarat ini pun diperinci lagi, apakah ia syarat wajib atau syarat sah,” imbuh Khadimul Ma’had Asshiddiqiyah Jakarta itu.

Tawaqquf itu sendiri masuk pada syarat, karena dilakukan sebelum melakukan pekerjaan.  Sedangkan al’anah masuk pada rukun, karena dilakukan di dalam pekerjaan. Setelah masuk pada suatu pekerjaan maka akan ada ketenangan (al’anah) dalam melakukannya. Ketenangan itu dihasilkan oleh ketawadu’an. Misalnya, dalam jangka dekat ini akan diadakan kurban, maka panitia harus mempersiapkannya dari sekarang, seperti dengan bertanya pada panitia sebelumnya.

“Perbanyaklah berusaha dan berdoa sebelum Allah memberi keputusan terhadap perkerjaaan. Karena, jika Allah mengizinkan pasti Allah akan memberi jalan,” ungkap Kiai alumnus Yaman itu.

Tawadhu’ dalam artian luas adalah meletakkan diri karena mengharap rida Allah SWT, dengan mengetahui kebesaran-kebesaran Allah dan meletakkan diri pada posisi yang menurutnya pantas untuk ia duduki.

“Tawadu’ itu dibagi menjadi dua yaitu tawadu’ ‘am (umum) dan khas (khusus). Tawadhu’ ‘am seperti, merendah dalam hal pakaian, makanan, minuman, tempat dan kendaraan. Adapun tawadhu’ khas (khusus) adalah mengetahui cara memposisikan diri. Kapan memuliakan orang lain, kapan merendah (menyamakan) diri,” papar KH Ahmad Mahrus Iskandar.

Berbeda dengan sombong yang menjadi lawan dari sifat tawadhu’. Ketika kita tidak merendahkan dan mengganggap diri lebih tinggi dari orang lain, melainkan hanya mengharap rida Allah saja, maka itu bukan termasuk sombong. Menjadi orang yang sederhana (tawadhu’) itu harus pada tempatnya. Jangan sampai dengan sederhana menyebabakan agama dan harga diri kita direndahkan oleh orang lain.

Jika kalian mencari harta untuk memperbaiki kehidupan keluarga atau orangtua kalian agar jangan diinjak oleh orang lain, apalagi orangtua sendiri adalah ahli ibadah, maka semua itu bernilai berjuang di jalan Allah. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw,

Wa in kana kharaja yas’a yu’iffuha fahuwa fi sabilillah

Artinya, jika ia keluar untuk berjuang untuk mencukupi dirinya, maka ia berada pada jalan Allah.

Ketika seorang sahabat saat itu ditanya oleh seorang penguasa yang sombong, yang menanyakan siapa dirinya, maka sahabat itu menjawab, “Kamu adalah air mani, dan berakhir menjadi bangkai, serta di antara banyak orang saat ini engkau membawa kotoran.”

“Jangan mau direndahkan dan diinjak-injak oleh orang lain (dalam konteks agama), bukan dalam posisi kita yang salah, dan tidak mau mengakui kesalahan,” pungkas Gus Mahrus. (Robiah)

  • Tulisan ini merupakan catatan ringkas Kajian Kitab Minhajul Abidin yang diampu oleh KH. Mahrus Iskandar, B.Sc (Khadimul Ma'had Asshiddiqiyah Jakarta) secara rutin tiap Senin malam.
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :