Mengenang Ayahanda DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ



Abah yang Tak Kenal Lelah

Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulallah 
Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya nashiral huda, ya khairal khalqillah
Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya nashiral haqqi, ya Rasulallah .....

“Abah!!!!!!!!!!” 

Teriakan dan gemuruh langkah kaki santri putri di asrama Binayah Mulyawan memenuhi lorong. Tujuannya tidak lain ialah tempat wudlu. Ya, shalawat tarkhim sebelum atau sesudah adzan ialah pertanda yang diketahui oleh semua warga pesantren bahwa shalat kali ini akan diimami oleh Abah Yai. Ciri khas lainnya ialah jeda antara adzan dan iqomah biasanya kurang dari tiga menit. Alhasil para santri yang selalu antri ketika mengambil air wudlu ini harus sedikit berlari agar tidak tertinggal shalat berjamaah.
     
Di depan pintu pengimaman masjid, di atas kursi rodanya, Abah Yai sudah siap menunggu santri sedang memenuhi shaf di masjid. Ditemani dua santri penderek yang berdiri di belakangnya, ketika masjid sudah penuh baru Abah Yai memasuki pengimaman dan shalat berjamaah dimulai. Sejak sakit sejak hampir enam tahun lalu, Abah kemana-mana menggunakan kursi roda. Namun itu tdak menyurutkan semangat Abah untuk tetap mengimami shalat fardlu, mengunjungi pesantren-pesantren cabang, menghadiri majelis ilmu, dan berbagai undangan di dalam dan luar kota. 
     
Ini tidak hanya ketika isya, ini dilakukan setiap Abah Yai mengimami shalat. Bahkan waktu istighatsah sebelum subuh pun demikian. Tidak seperti pesantren di desa-desa yang awal harinya  dimulai dengan kokok ayam jantan yang bersahutan dengan tarhim dan adzan subuh, istighatsah pagi di sini terkadang sembari terdengar bising knalpot motor yang jelas dikendarai dengan tidak pelan dan ugal-ugalan, suara mobil polantas yang sedang patroli, bahkan beberapa kali sirine pemadam kebakaran. Maklum, posisi bangunan pesantren persis berada di sisi jalan arteri kota Jakarta Barat. Belum lagi suara rem bus Tranjakarta ketika menaikturunkan penumpang di halte yang posisinya tepat di depan pesantren. Semakin menambah warna suasana pesantren yang beralamat di Jalan Panjang No. 6C Kelurahan Kedoya Utara Kecamatan Kebon Jeruk ini.
     
Dengan mata yang masih sepet, para santri putri berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari tempat tidur demi menghentikan suara para waliasuh yang seperti sirine kereta api. Suara-suara tersebut tidak berhenti sebelum seluruh santri bangun dari tidur lalu turun ke masjid untuk shalat tahajjud dan istighatsah. 
     
Setelah menggunakan mukena terusan berwarna putih, berikut sangu sajadah dan buku Majmu’ah Amaliyah Ahlussunnah wal Jamaah, para santri berbondong-bondong menuju masjid. Tahajud wajib ini sebagai bentuk riyadlah santri yang Abah Yai Noer Muhammad Iskandar terapkan sebagaimana di pesantren ayahandanya. Beliau salah satu putra  dari pendiri Pondok Pesantren Manbaul Ulum di Sumber Beras Muncar Banyuwangi, Kiai Askandar dengan Nyai Siti Robiatun.
     --- 
Surat Yasin dan al-Waqiah, Ratibul Haddad, serta Asmaul Husna telah dibaca dengan keras melalui mikrofon oleh salah seorang santri. Sedangkan yang lain mengikuti dengan khusyuk. Namun tidak sedikit yang menunduk terkantuk-kantuk. Gema tarkhim lalu menyambut shubuh. Para santri yang sudah ‘tidak punya’ wudlu kemudian lekas mengambil air wudlu agar tidak ketinggalan shalat berjamaah. 

Ketika awal-awal mendirikan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Pusat Jakarta, Abah pernah berkata kepada salah seorang pengajar yang sering nderek beliau tentang bagaimana menjalankan pesantren ini ke depannya, Ustadz Abdul Kholiq namanya.

“Pak Kholiq, udah saya ini yang penting saya, bagaimana saya, anak-anak, para santri, guru-guru diajarin dekat dengan Allah SWT. Terus kemudian Allah nanti yang menunjukkan bagaimana pondok itu berjalan,” ujar Abah kala itu.

--- 
     
Kini, pesantren telah berkembang menjadi dua belas pesantren di umurnya yang menginjak tahun ketiga puluh lima, antara lain Asshiddiqiyah Pusat Jakarta Barat dibawah asuhan putra beliau KH. Ahmad Mahrus Iskandar, B.Sc, Asshiddiqiyah 2 Batuceper Tangerang, Asshiddiqiyah 3 4 5 Karawang, Asshiddiqiyah 6 Serpong Tangerang Selatan, Asshiddiqiyah 7 Cijeruk Bogor, Asshiddiqiyah 8 Musi Banyuasin, Asshiddiqiyah 9 Gunung Sugih Lampung Tengah, Asshiddiqiyah 10 Cianjur, dan Asshiddiqiyah 11 Waykanan. 
     
Pada masa-masa awal pesantren, Abah seringkali pulang ceramah lewat tengah malam, sekitar jam satu hingga jam dua dini hari. Sesampainya di pesantren Kedoya Utara, Abah tidak langsung ke rumah, melainkan menengok kondisi pesantren dan para santri. Para pengurus pesantren yang nderek Abah seringkali menjumpai hal demikian. Istirahatnya pun hanya tidur sebentar. 

Nah, dimana dan kapan Abah beristirahat? Menurut para sopir dan para penderek beliau, Abah tidurnya itu di mobil ketika dalam perjalanan kembali ke pesantren. Jadi, setiap Abah pergi kemana saja pasti diusahakan tidur di mobil untuk istirahat. Walaupun terlihat memejamkan mata selama perjalanan menggunakan mobil, lisan dan tangan abah selalu bergerak untuk berdzikir.
      
Ketika sudah masuk pondok,  Abah seringkali berkeliling-keliling melihat kondisi santri, menegur para santri jika melakukan sesuatu yang tidak baik, dan lain sebagainya sebelum kembali ke ndalem. 
      
Sejak menikahi Ibu Nyai Nur Djazilah pada tahun 1982 lalu hijrah ke Jakarta hingga mendirikan pesantren yang awalnya hanya sebuah mushalla, Abah selalu mengimami shalat ketika sedang berada di pesantren. Ya, Abah mencontohkan hal tersebut kepada para santri dan guru-guru pesantren agar selalu mewajibkan diri untuk shalat berjamaah. Selain itu, Abah juga membiasakan para santri untuk membaca Surah Yasin dan Al-Waqi’ah dalam rangkaian dzikir setelah shalat. 
      
Abah juga kerap mengisi ceramah atau menghadiri undangan di luar kota, namun Abah tetap berusaha untuk istiqamah mengajar para santri. Bahkan pernah suatu kali, Abah mendapat dua undangan ceramah di Surabaya pada hari yang sama di tempat dan waktu yang berbeda yakni pagi menjelang siang dan malam hari. Di sela-sela antara siang dan malam itu, Abah menyempatkan diri untuk pulang dulu ke pesantren di Jakarta karena ada jadwal ngaji bandongan santri setelah shalat zhuhur. Abah pulang naik pesawat. Sesampainya di pesantren,  Abah mengimami shalat zuhur, kemudian memberi pengajian bandongan kepada para santri. Tidak sampai tiga puluh menit pengajian selesai, Abah lalu berbenah untuk kembali ke Surabaya memenuhi undangan yang kedua.
      
Dalam mengajar, Abah membagi waktu menjadi tiga tahapan pembelajaran, yakni pembukaan, penyampaian materi, dan penutup. Abah membuka pelajaran dengan me-review pelajaran terdahulu. Abah terkadang mengawalinya dengan bertanya kepada para santri, “Coba yang kemarin dibaca dulu?” 
      
Baru kemudian, Abah mulai menjelaskan materi. Sebagaimana metode di pesantren salaf, Abah juga membaca kalimat-kalimat yang ada di dalam kitab lalu mengartikannya. Para santri lalu menuliskan makna dari kalimat-kalimat yang dibaca Abah kitabnya masing-masing. Dalam dunia pesantren Jawa, kegiatan ini disebut dengan istilah ma’nani (memaknai per kalimat). Terkadang Abah menyelinginya dengan tanya jawab dan mengulang-ulang pelajaran yang lalu. Abah jarang sekali memberikan banyak materi dalam sebuah pertemuan, melainkan materi sedikit diulang-ulang hingga para santri paham.  Kemudian, Abah mengakhiri pelajaran dengan meminta satu atau dua orang santri kembali membaca pelajaran yang disampaikan sebagai bentuk evaluasi. 
      
Dahulu Abah pernah mengajar Qawa’idul Fiqhiyah di kelas enam (kelas XII madrasah aliyah). Sebagaimana santri pada umumnya, mereka akan belajar lebih giat ketika pelajaran  kiai atau ibu nyai. Begitu pun santri di sini. Satu hari sebelum ngaji Abah, para santri umumnya hanya muthala’ah pelajaran Abah. Tidak mau belajar yang lain. Mereka takut tidak bisa jika nanti tiba-tiba disuruh membaca kitab atau menjawab pertanyaan. Akhirnya semuanya dikalahkan untuk menghadapi pelajaran Abah besok.
      
Ini juga terjadi pada santri ma’had aly. Menurut penuturan seorang santri ma’had aly yang pernah ngaji dengan abah pada tahun 2008, Abah sangat tegas dalam mengajar, terlebih jika ada  santri yang membaca kitabnya kurang lancar. Kala itu, jadwal ngaji yang sering berubah karena Abah sering ceramah di luar. Sehingga, tidak jarang tiba-tiba ada santri abdi ndalem yang memberitahukan ke asrama bahwa abah akan ngaji saat itu juga. Alhasil, para santri ma’had aly ini ndredeg ketika diminta membaca kitab karena persiapan yang kurang maksimal.
      
Dengan sebelas belas pesantren yang ada hingga saat ini, setiap tahun selalu diadakan pertemuan pimpinan pesantren di Jakarta. Biasanya dilaksanakan sebelum Hari Raya Idul Fitri (bulan Ramadhan). Ada beberapa hal yang sering disampaikan Abah kepada para pimpinan dalam pertemuan tersebut. Pertama keikhlasan memimpin pondok ini diumpamakan seperti menanam. Dari menanam ini, kapan masa panennya jangan diharapkan. Sebagai seorang pendidik, seorang guru berkewajiban untuk menanam. Apa yang tumbuh dari menanam itu sesuai dengan apa yang ditanam. Kalau yang ditanamnya baik, pasti tumbuhnya baik juga. Tumbuhnya santri itu nanti dimana-mana wallahu a’lam. Hal itu selalu yang pesankan. 
      
Hal kedua yang selalu Abah pesankan kepada para guru di pesantren ialah ngopeni (mengurusi) santri. Santri diopeni dengan baik, dengan penuh kasih sayang, tidak sekedar mengajar saja. Setelah itu semua, hal ketiga yang tidak kalah penting dalam mendidik santri, “Bekerja ya hanya untuk Allah. Jangan berpikir yang neko-neko.” 
      
Menurut penuturan salah satu pimpinan yang pernah bertanya kepada Abah tentang  bagaimana menjawab keresahan yang muncul di antara guru-guru tentang masa depan terkait bilangan gaji dan kurangnya pembinaan karir. Abah menjawab, “Kita ini bekerja juga modalnya modal dengkul. Semangat saja kita itu karena Allah. Ya udah nanti masa depan itu Allah yang ngatur. Gitu aja. Kalau dia mau berjuang dengan kita bareng-bareng ya monggo. Kalau nggak ya silakan keluar.”
      
Begitulah Abah, beliau tidak menjalankan pesantren dengan muluk-muluk. Menurutnya, Allah telah mendesain semuanya, kita cukup menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Dengan begitu nggak akan repot, apalagi stres.
     
Dalam mengembangkan pesantren di luar Jakarta pun Abah tidak muluk-muluk. Bahkan setiap pesantren cabang memiliki awal kisah yang berbeda-beda. Tentang pesantren di Batuceper Kota Tangerang, sebelumnya Abah pernah bergumam ketika sedang berjalan-jalan, “Enak kali ya punya pondok yang di deket bandara. Jadi kalau mau ke bandara, mau pergi kemana, saya bisa pergi ke pondok dulu, gitu kan. Nanti pulang juga saya bisa ke pondok saya, deket-deketan.” 
      
Tiba-tiba suatu hari ada yang mewakafkan tanah hingga pada 1994, Abah mendirikan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 2 Tangerang dengan kini pengasuhnya KH. Muhammad Ulil Abshor, sang menantu.
      
Bersamaan dengan semakin dikenalnya Abah lewat ceramah di radio pada era 80-an hingga pasca 90-an itu, semasa dengan H. Kosim Nurseha, semakin banyak orang yang tertarik untuk mewakafkan tanahnya agar di bangun pesantren. Abah pun menerima wakaf tersebut jika dilihat lahannya cocok untuk dibangun pesantren, dan tidak ada syarat-syarat tertentu (wakaf mutlak) ketika menyerahkan tanah wakaf tersebut. Setelah menerima tanah wakaf tersebut, seringnya Abah menambah luas lahan dengan membeli lahan di sekitarnya untuk memperluas area pesantren.
      
Namun, ada juga orang yang ingin mewakafkan tanah, tapi minta kerja sama alias bagi hasil. Pernah ada seseorang di Sukabumi yang ingin mewakafkan tanahnya ke Abah untuk dibangun pesantren. Abah pun melihat kondisi lahan dan merasa cocok. Setelah lahan diterima, ternyata lahan tersebut merupakan lahan yang dijaminkan ke bank untuk membayar utang. Alhasil, Abah harus menanggung utang tersebut. Namun, pemiliknya ingkar janji hingga Abah memilih untuk melepaskan lahan tersebut karena ketidakjelasannya.
      
Sedangkan berdirinya Asshiddiqiyah 8 di Musi Banyuasin bermula dari seorang petani sederhana yang tertarik dengan dakwah Abah hingga ia ingin wakaf tanhanya untuk didirikan pesantren. Abah yang merasa cocok dengan lahan tersebut lalu sebagaimana sebelumnya, diambil, dibangun, dan diluaskan. Begitulah, hampir semua datangnya lahan wakaf itu karena ketertarikan orang dengan perjuangan dan keilmuan Abah. 
      
Namun, Abah tidak lantas menerima semuanya karena disesuaikan dengan keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) yang dibutuhkan untuk mengelolanya. Selain diasuh oleh Abah langsung, sebagian besar diserahkan ke anak dan kerabat yang pasti masih memiliki ikatan darah daging. Namun saat ini, dengan kondisi Abah yang  ‘naik turun’, tentu tidak semaksimal seperti ketika sehat dalam mengontrol pengelolaan pesantren.
      
Hal lain yang lekat dengan Abah ialah sifat sakho’ (سَخَاء : murah hati), loman kalau dalam bahasa Jawa. Sang putra yang saat ini menjadi Khadimul Ma’had Asshiddiqiyah Pusat Jakarta KH. Ahmad Mahrus Iskandar, juga santri yang nderek Abah, dalam beberapa kesempatan kerap menceritakan tentang ke-loman-an Abah terhadap orang lain, baik dengan orang yang dikenal mau pun tidak. Di pesantren terhadap guru-guru pun demikian. Seringkali ketika para guru berkumpul di kediaman Abah untuk rapat atau hal lain, Abah selalu meminta sang istri, Ibu Nyai Nur Djazilah untuk mengeluarkan semua makanan agar diberikan kepada guru-guru. Walau pun stok makanan di ndalem Abah tidak banyak.
      
“Udah keluarin aja semuanya ini buat guru-guru.” 
      
Begitulah proses pembiasaan Abah terhadap keluarganya untuk bersikap loman terhadap siapa pun. Dalam melakukan demikian tentu sebagai ibu rumah tangga yang masih baru, Ibu Nyai juga harus memikirkan bagaimana suami saya, bagaimana anak-anak saya, karena harus ada persiapan stok makanan dan lain sebagainya. Begitu pun sampai saat ini, Ibu Nyai selalu mengajarkan santri untuk menggunakan sesuatu secara optimal dan tidak mubadzir. Misalnya, ada lampu yang belum dipadamkan walau matahari sudah muncul, Ibu Nyai kerap menegur dengan tegas jika ada orang yang tahu namun membiarkannya.
          
Sikap loman Kiai ini berdampingan dengan sikap tegasnya jika melihat sesuatu yang tidak pas menurutnya, terlebih jika para guru yang melakukan. Namun, setelahnya Kiai kerap nyangoni para pengajar yang habis ditegur. Sehingga hal ini menjadi suatu kebiasaan. 
          
Diceritakan pada suatu Ramadhan di rumah salah seorang pengajar, datang seorang teman yang sedang pailit dan meminta bantuan untuk pulang ke kampungnya. Kebetulan yang ditemui hanya punya uang seratus ribu. Ia pun memberikan uang seratus ribunya kepada temannya tadi dengan keyakinan suatu saat nanti akan mendapat ganti dari Allah. Temannya pun pulang. 
          
Esok harinya, pengajar tadi dipanggil Abah agar datang ke rumah. 
          
“Wahh ini, kan menjelang Idul Fitri. Saya ingat janjinya Allah kalau kita memberi satu dibalasnya sepuluh. Saya kemarin ngasih seratus ribu pasti nanti bakalan jadi satu juta,” pikirnya.
          
Ia pun datang dan menunggu Kiai keluar dari kamarnya. Dan benar, Kiai keluar kamar dengan membawa sebuah amplop lalu diberikan kepadanya.
          
“Alhamdulillah,” batinnya. 
          
Sesampainya di rumah, ia pun membuka amplop yang ia duga bernilai sepuluh kali lipat dari  yang ia berikan kepada temannya kemarin. Setelah dibuka, ia pun tertawa.
          
“Hahahahaha, impas ini.” Ternyata di dalam amplop itu berisi nilai yang sama, seratus ribu rupiah. 
          
Demikian, kisah dan nasihat-nasihat yang kerap Abah berikan kepada para pengurus dan pengajar di pesantren agar berniat untuk menjadi pegawai Allah, karena Allah Maha Menguasai segala sesuatu, tidak seperti manusia yang memiliki keterbatasan. Selain itu, sebagai seorang pendidik juga harus mampu mengantisipasi perkembangan. Maka Asshiddiqiyah itu termasuk pesantren yang adaptif cepet merespon ketika ada perubahan-perubahan. Perkembangan tadi tetap menjaga dari prinsip pondok pesantren itu sendiri. Inilah penerapan dari al-Muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Namun, setiap pesantren Asshiddiqiyah memiliki tingkat perkembangannya sendiri, ada yang lebih fokus belajar, ada juga yang lebih pada pengembangan diri. 

Begitulah Abah, sikapnya tegas kepada para pengajar dan santri. Ketika para pengajar meminta maaf pun Abah hanya menjawab sederhana, “Ah, sudahlah yang kemarin itu. Sekarang ke depan.”
          
Lekat dalam ingatan kami, Abah yang semangatnya tak pernah luntur. Di sela-sela istirahatnya di pagi hari, sembari berjemur setelah shalat duha, Abah memperhatikan para santri yang akan berangkat ke kelas. Para santri datang merunduk-runduk untuk salim dan minta didoakan oleh Abah. 

Siang ini, pukul 13.41 WIB di RS Siloam Kebon Jeruk DKI Jakarta Ahad 13 Desember 2020 M / 28 Rabiul Akhir 1442 H, di tempat Abah menggaungkan dakwah Islam, Allah menjemput beliau ke haribaan-Nya.  

Untuk para alumni, santri, dan khalayak umum, kami meminta keikhlasan do'a,  beliau insya Allah khusnul khatimah. Semua perjuangan beliau berkhidmah untuk umat diridhai Allah SWT. Semoga keluarga besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah diberikan ketabahan dan hati yang lapang. Aamiin. 

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ. اللهم أنقله من ضيق اللحود والقبور إلى سعة الدور والقصور في سدر مخضود وطلح منضود وظل ممدود وماء مسكوب وفاكهة كثيرة لا مقطوعه ولا ممنوعة وفرش مرفوعة مع الذين أنعمت عليهم من النبيين والصديقين والشهداء وحسن أؤلئـك رفيقا..يارب العالميـن..

Keluarga Besar Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.

(Lail)
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

1 komentar :

Jasamu kami ingat selalu Abah mengatakan...

Maa sya Allah .. yallah bi husnil khootimah Aamiin