Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Go Internasional

[Agama dan Pendidikan]Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Go Internasional
Di Luar Negeri, Lulusannya Dijuluki Ibnu Daud

LULUSAN Pondok Pesantren Asshiddiqiyah yang melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar Mesir dijuluki Ibnu Daud. Mengapa? Menurut Sekretaris Pondok Pesantren (Pontren) Asshidddiqiyah Jakarta MH Bahaudin, mahasiswa Al-Azhar yang berasal dari Pondok Pesantren Asshiddiqiyah memang dikenal Ibnu Daud, yang artinya sering melaksanakan puasa seperti Nabi Daud, sehari puasa sehari tidak. Begitu seterusnya, kecuali puasa Ramadhan yang dilakukan berturut-turut selama sebulan, dan hari yang dilarang berpuasa seperti hari tasyrik dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).
Kami mewajibkan santri tingkatan SMP melaksanakan puasa Senin dan Kamis, sedangkan santri Kelas VI melaksanakan puasa Nabi Daud. Kami juga mewajibkan seluruh santri yang jumlahnya 6.000 orang melaksanakan sholat tahajud setiap malam, kata Bahauddin seraya menambahkan bahwa santri sebanyak itu bermukim di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah di sembilan tempat, yakni di Jakarta Barat, Batu Ceper Tangerang, Kerawang, Serpong, Cijeruk Bogor, Sukabumi, Way Kanan Lampung, Musi Banyuasin Sumsel, dan Gunung Sugih Lampung.
Pontren Asshiddiqiyah memiliki tiga dermaga sebagai tujuan yang harus dilaksanakan dan dicapai. Pertama, seluruh santri harus berakhlakul karimah. Kedua, menerapkan bahasa internasional (Bahasa Arab dan Inggris). Ketiga, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan iman dan takwa (Imtak).
Untuk itu, pengumuman yang berkaitan dengan santri pakai Bahasa Arab dan Inggris. Sehari-harinya pun santri harus berbahasa asing. Siapa pun yang ketahuan tidak menggunakan bahasa asing, akan kena sanksi. Sanksinya harus mengawasi santri lain yang melanggar aturan pesantren.
Bahauddin memaparkan para santri bukan hanya dapat berdakwah di kampungnya atau di Indonesia saja, tetapi juga harus bisa berdakwah di luar negeri. Oleh karena itu, ada santri yang dikirim ke Amerika, Qatar, Mesir, dan lain-lain. Baru-baru ini ada santri Asshiddiqiyah yang diundang PBB ke Amerika. Begitu pula Presiden Umat Muslim di Inggris Syekh Masoed mengundang kami, dan kami mengirim utusan ke sana. Mr Basyir Arafat, Penasihat Presiden AS bidang urusan Islam pun mengundang santri Asshiddiqiyah.
Menurut Bahauddin, lulusan Pontren Asshiddiqiyah melanjutkan kuliahnya di luar negeri sebanyak 20 persen.Jadi sebenarnya Pondok Pesantren Asshiddiqiyah sudah go internasional.
Untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan pengembangan Asshiddiqiyah ke depan, pesantren ini mendirikan Mahad Ali Saidusshidiqiyah. Kini sudah ada 120 santri yang seluruhnya mendapat beasiswa. Ada dua jurusan yang disedikan di Ma\'had ini, yakni Kuliyatul Syariah dan Kuliyatut Tafsir. Dosen ada yang kami datangkan dari luar negeri, seperti al-Azhar dan Timur Tengah lainnya dan dari dalam negeri, jelasnya.
Untuk tingkatan SLTA dan Ma\'had \'Ali diajarkan kewirausahaan, bidang agrobisnis, tataboga, simpan pinjan syariah, dan perdagangan. Selain itu, mereka juga tidak ketinggalan mempelajari seluk beluk tentang teknologi, seperti komputer dan internet, tutur Bahauddin yang juga Sekjen Asosiasi LM3 (Lembaga yang Mengakar Mandiri di Masyarakat).
Guna melengkapi pada bidang bisnis, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah kini memiliki tiga toko swalayan yang ada di Kedoya, Jakarta Barat; Batu Ceper, Tangerang; dan Karawang, Jawa Barat. Selain itu ada 13 rumah makan baik mandiri maupun kerjasama pihak lain, seperti Ayam Bakar Wong Solo.
***
PONDOK Pesantren Asshiddiqiyah terletak di Jalan Panjang 6 C Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Pengasuh Pontren Asshiddiqiyah, KH Noer Muhammad Iskandar, SQ mengatakan, tanah yang kini jadi pesantren ini awalnya berbentuk rawa.
Dia berkisah, di tanah rawa itu, ia membangun rumah sederhana berdinding triplek. Separuh bangunan untuk tempat tinggalnya, separuh lagi untuk musholla sekaligus tempat belajar mengajar. Dana untuk membangun rumah tersebut berasal dari penjualan sepeda motor butut milik Noer Muhammad Iskandar. Itulah cikal bakal didirikannya Pondok Pesantren Asshiddiiqiyah, ucap alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, KH Noer Muhamad Iskandar, SQ.
Tanah rawa seluas 2.000 m2 itu merupakan wakaf dari keluarga H Abdul Ghani Dja\'ani. Tujuannya untuk penyiaran agama Islam. Mengapa tanah tersebut diserahkan pengelolaannya kepada KH Noer?
Menurut informasi, penyerahan tanah wakaf untuk dikelola KH Noer Muhammad Iskandar itu dengan pertimbangan matang. Di antaranya karena laki-laki kelahiran Desa Brasan, Banyuwangi, Jawa Timur, tahun 1955 itu telah dikenal sebagai dai yang aktif. Bahkan telah berhasil pula mengelola sebuah lembaga pendidikan di kawasan Pluit, Jakarta Utara.
Tawaran untuk mengelola lahan rawa 2.000 m2 tersebut sebenarnya tidak serta merta langsung diterima KH Noer. Masalahnya kawasan Kedoya waktu itu cukup rawan. Selain itu KH Noer juga berniat ingin kembali ke kampung halamannya untuk mengembangkan Pondok Pesantren Manbaul Ulum di Banyuwangi, peninggalan ayahnya.
Di tengah kebimbangan untuk memilih, Noer segera menemui KH Makhrus Ali (almarhum) yang merupakan pimpinan Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Di sana Noer pernah menjadi santri. Saat bertemu KH Makhrus, ia menceritakan tentang kebimbangannya itu. Noer, kamu mesti tinggal di Jakarta. Dirikan pesantren dan segera beristri, saran Makhrus.
Segera nasihat itu diturutinya. Tapi yang pertama ia lakukan adalah menikahi Noer Jazilah, alumnus Pesantren Cukir, Jombang, Jawa Timur. Pada 1984, ia kembali ke Jakarta untuk segera menerima amanat mengelola tanah wakaf milik keluarga H Dja\'ani. Bersama dengan dua orang lainnya, H Abdul Ghani Dja\'ani dan H Rosyidi Ambary, Noer mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.
Waktu itu, santrinya hanya sepasang. Seorang lai-laki asal Lampung dan seorang perempuan asal Kuningan, Jawa Barat. Untuk menarik minat calon santri, Noer menyelenggarakan serangkaian pesantren kilat. Dari sebagian peserta, kemudian menyatakan minatnya menjadi santri di pesantren sederhana tersebut.
Dalam perkembangannya areal pesantren bertambah luas. Selain dari hasil wakaf juga pembelian lahan sekitar pesantren oleh yayasan. Kini, pesantren Asshiddiqiyah seluas 10.000 m2 berdiri beberapa gedung megah bertingkat. Dua buah masjid (sebuah masjid untuk santri putra dan lainnya untuk santri putri), serta beberapa fasilitas lainnya. Termasuk perumahan guru, kantor urusan haji, dan kantor biro ekonomi.
Tidak kurang dari 6.000 santri putra dan putri dari berbagai pelosok Indonesia, tengah menggali ilmu di sana. Saya tidak membayangkan bahwa dalam waktu singkat, kami mampu berkembang. Ini benar-benar karunia Allah, ujar Noer.
Setiap tahun, tidak kurang dari 2.500 anak mendaftar ke pesantren itu, meski yang diterima menjadi santri hanya 1.000 anak. Berbagai keberhasilan Pesantren Asshiddiqiyah, menurut Sekjen MUI H Ichwan Sam, antara lain berkat figur pengasuh yang memiliki visi jauh ke depan. Sehingga berbagai pembaruan lahir dari tangganya. Dari sini kepercayaan masyarakat kepada Asshiddiqiyah muncul ujarnya.
Salah satu bentuk nyata dari visi jauh ke depan adalah pola integrated system (sistem yang terintegrasi), yang ditetapkan di pesantren tersebut. Sistem ini mengaitkan secara intensif antara pendidikan formal dan non-formal serta keterkaitan pendidikan agama dan umum.
Pendidikan formal di Asshiddiqiyah di mulai dari Kelas I hingga Kelas VI. Kelas I hingga III merupakan bentuk Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan Kelas IV hingga VI merupakan Madrasah Aliyah. Di luar itu, metode pengajaran salaf (kitab kuning), menjadi penyempurna. Kesemuanya ditangani Noer bersama dewan guru yang berjumlah 300 orang. Mereka dibantu 98 orang staf dalam menyelenggarakan pondok.
Dalam bidang pengajaran, sebenarnya Noer tidak membuat terobosan baru. Ia hanya memadukan berbagai bentuk pendidikan yang dilakukan pesantren lainnya. Disiplin waktu dan berbahasa saya contoh dari Pondok Gontor. Sedangkan metode salaf dari pesantren tradisional lainnya, papar Noer.
Salah satu bentuk pengajaran yang diambil dari metode salaf adalah dorongan bagi santrinya untuk rajin sholat tahajud setiap malamnya. Bahkan, buat mereka yang mampu puasa Nabi Daud sangat dianjurkan untuk membina akhlakulkarimah.
Di luar jam pelajaran formal, semua santri bebas memilih berbagai kegiatan ekstra kurikuler. Mulai dari pencak silat, drumband, hingga kesenian teater atau qasidah. Semua kegiatan ada dalam pengelolaan Organisasi Pengurus Santri Asshiddiqiyah (OPSA). Mereka juga melibatkan qari terkenal H Muammar ZA serta bintang sinetron Neno Warisman. Hal itu dimaksudkan untuk menggali dan membina bakat santri.
Mengenai target lembaga pendidikannya, Noer mengakui ia ingin mencetak generasi yang paripurna. Tidak hanya kuat imannya, tapi juga kuat ilmunya. Itulah generasi paripurna, katanya. Dengan situasi dan kondisi yang dirintis seperti sekarang, bukan tidak mungkin cita-cita Noer yang punya hubungan luas mulai dari artis hingga pejabat ini akan terlaksana. (sidik m nasir)
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

1 komentar :

Sahabat Muslim mengatakan...

profilnya sangat lengkap