Khilafah, Pudarnya Nilai Nasionalisme (1)





AMC- Akhir-akhir ini, penggerusan demokrasi dan nasionalisme semakin gencar. Angin segar muncul setelah kejadian demo besar-besaran bulan Desember lalu. Presiden tidak memberikan jawaban yang cepat dan solutif, sehingga rakyat bergerak serentak terus menerus. Sampai pada kejadian hari lalu, benturan HTI dengan Banser di Jatim. 

Indonesia bisa bertahan sampai sekarang itu perlu disyukuri. Notabene negara kaya yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya banyak diincar oleh kaum kapitalis rakus. Contoh saja Irak, negara kaya yang mempunyai basis tentara terkuat di Timur Tengah sudah tumbang, menyusul Syiria, Mesir dan Yaman. Tersisa Turki, jikalau tidak membelot ke UNI-Eropa, niscaya akan terjadi nasib yang sama.

Pertanyaanya kemudian : kenapa mereka bisa tumbang? Siapa yang bisa menumbangkan? Bukan rahasia umum, kalau mereka hancur karena perang antar saudara, bukan oleh asing/luar. Tragisnya lagi, mereka semua mengatas namakan agama. Setelah salah satu dari mereka menang, apa yang terjadi sekarang? Tidak ada. Bagaimana kabar Irak pasca kemenangan ISIS (Negara Islam)? Libya pasca tumbangnya Khadafi? Tambah sengsara. Minyak bumi diperjual belikan di pasar gelap, wanita dijadikan budak, kemanusiaan sudah tidak diindahkan lagi.

Jika ditelisik mendalam, inti permasalahan di negara hanya 2 : rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan ketimpangan sosial. Jika ada demo besar-besaran, itu merupakan antitesa pemerintah yang terlalu kapital, dan tidak berpihak ke rakyat. Hukum hanya permainan kekuasaan. Berbanding lurus juga dengan mahasiswa yang sudah lupa diri sebagai agen perubahan, ditambah lagi dengan banyaknya ulama’ syu’  sebagai antek kekuasaan dan nafsu birahi.

Jadi, sebuah kewajaran jika masyarakat mulai mencari ‘orang lain’ untuk dijadikan pijakan. Konsep khilafah mengambil momentum ini sebagai pemecah solusi. Mereka mengambil hati masyarakat yang terluka, untuk diobati dengan impian-impian kejayaan Islam, penggunaan hukum Allah,  dan lain-lain.

Akan tetapi, konsep khilafah itu sebenarnya bak fatamorgana di tengah padang sahara. Kelihatanya air segar, tapi sebenarnya halusinasi semata. Terlihat sebagai solusi, tapi sebenarnya problem baru yang harus diselesaikan. Menggantikan dasar kemaslahatan sekarang (walapun masih banyak kekurangan), dengan ‘kemaslahatan’ baru yang masih dalam taraf presepsi. Dalam kajian Islam, ini jelas tertolak. 

Jika berargument kembali kepada hukum Allah, semua umat Islam sepakat, dasar agama Islam itu al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak perlu berteriak untuk mengganti dasar NKRI. Toh, mau mengganti dengan apa? Hukum Allah yang sesuai presepsi kelompok kalian? Enyah sajalah.

Konsep ‘La Hukma Illa lillah’ (tidak ada hukum kecuali dari Allah) itu slogan lacur yang dibawa para kaum politisi khowarij. Merasa benar sendiri, dan mengharuskan yang lain untuk tunduk. Apakah itu layak dipraktikan di negara demokrasi seperti ini? #Aku rapopo.


Nur Salikin, Jakarta : 3 April 2017.
Share on Google Plus

About Asshiddiqiyah Media Center

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :