Ramadhan Bulan Penuh Produktifitas


AIC(JKT)

Marhaban Ya Ramadhan. Menjadi kegembiraan dan syukur luar biasa bagi kaum Muslimin yang dapat ditemukan kembali dengan bulan seribu berkah keutamaan ibadahnya. Bulan Ramadhan menjadi pendorong untuk memudahkan melakukan berbagai macam ibadah yang selama bulan-bulan selain Ramadhan terkadang berat untuk dilaksanakan.
Namun, setiap Ramadhan tiba, produktivitas sebagian umat Islam menurun. Diawal-awal bulan Ramadhan, biasanya terjadi perubahan perilaku umat Islam. Yaitu menjadi sangat produktif di aktivitas religius, namun menjadi kurang produktif di area kerja. Seringkali kita menemui bahwa beberapa orang menjadi malas untuk bekerja, terlihat setelah shalat Jum’at kemudian tidur di Masjid, pulang kerja lebih awal meskipun sudah diberi jadwal pulang lebih awal selama bulan Ramadhan dan semuanya beralasan karena sedang berpuasa. Bahkan, Banyaknya tidur justru akan menafikan hikmah dari disyariatkannya puasa itu sendiri yaitu untuk melakukan jihad melawan berbagai tarikan-tarikan hawa nafsu dan syahwatnya selama menjalankan puasa. Sedangkan hadits:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.
Hadits ini tidak dapat dipakai sebagai pembenaran, sebab perawi hadits ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perawi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan. Dalam riwayat lain, perawinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya’ dengan sanad hadits yang dho’if (lemah).
Padahal, bekerja jika diniatkan sebagai ibadah maka akan berhadiahkan pahala. Berpuasa bukan berarti ibadah dalam bentuk produktivitas kerja harus dikurangi atau malas bekerja. Kita boleh mengurangi kegiatan-kegiatan fisik yang dapat berpotensi membatalkan puasa kita namun jangan sampai hal-hal yang seharusnya dilakukan untuk kualitas kerja harus dikurangi.
Alasan lain adalah bahwa tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya sebagaimana ucapan Ibnu Rajab, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latha-if Al-Ma’arif.
Intinya, semuanya adalah tergantung niatnya. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.
Selain itu Nabipun pernah bersabda bahwa puasa itu menyehatkan.
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا                                                                                                                
 Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat[1]

Walaupun banyak Ulama yang menyatakan bahwa sanad hadits ini dlaif (lemah).  Akan tetapi, dari sisi matan (isi hadits), tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab memang banyak hikmah dibalik puasa itu sendiri yang mana salah satunya adalah bertambahnya kesehatan.

Bahkan Nabi membuktikan saat berpuasa, tidak mengendurkan semangat juang dan produktivitas kerja. Hal Ini terbukti ketika Nabi dan para sahabatnya berjuang pada Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, saat pertama kali puasa disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sekitar 313 kaum muslimin, di bawah pimpinan Nabi berhasil mengalahkan pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 950 orang di bawah komando Abu Sofyan.
Jika kita menyimak refleksi substansial dari perang Badar tersebut bukanlah pada perang fisiknya, melainkan pada etos kerja dan etos juang yang tak pernah surut meski Nabi dan para sahabatnya waktu itu dalam keadaan berpuasa. Melalui peristiwa Perang Badar, semakin jelas puasa yang dilakukan sesuai tuntunan Nabi akan mampu melestarikan dan menumbuhkan etos kerja dan etos juang yang tinggi. Sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi:
الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى
“Islam itu tinggi dan tidak diungguli.” (HR. Ad-Daraquthni, berderajat hasan menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari).[2]

Secara kemurnian dan keindahan ajarannya, semua telah mengakui, baik dengan lisan maupun dalam lubuk hati. Kalangan non-muslim termasuk para penentang Islam pun tidak ragu akan ketinggian ajaran Islam. Namun, mengapa kondisi para pemeluknya seperti ini?

Hal tersebut juga sangat bertolak belakang dengan kebiasaan para Ulama-ulama terdahulu yang selalu produktif dalam menjalankan aktiftasnya walaupun dalam bulan Ramadhan. Seperti Imam Yahya bin Syaraf  An-Nawawi Ad-Dimasyqi, pengarang kitab Riyadh Ash-Shalihin yang menyelesaikan penyusunan kitab yang sangat populer dan besar manfaat serta faedahnya  pada tanggal 14 Ramadhan. Dan selesainya Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam mensyarahi kitab Asy-Syamail An-Nabawiyah karya Abu Isa Muhammad bin Saurah At-Tirmidzi, atau yang lebih kita kenal dengan Imam Tirmidzi yang selesai pada tanggal 18 Ramadhan.
Fakta Perang Badar dan semakin produktifisnya para Ulama terdahulu dalam menjalankan akfitasnya menjadi realitas yang amat kontradiktif dengan kenyataan umat Muslim saat ini. Bahwa, karena puasa tubuh jadi letih dan lemas, adalah wajar. Namun, bila karena puasa produktivitas, etos kerja, dan etos juang menjadi loyo, ini yang harus dibenahi.
Bagaimanapun, puasa sebagai syariat Islam memang dihadiahkan bagi kaum muslimin agar mampu meningkatkan produktivitas ibadah atau kerja. Banyak keistimewaan yang diberikan Allah pada bulan suci Ramadan, salah satunya seperti malam Lailatul Qadar. Pahala ibadah pada malam itu lebih baik dari 1.000 bulan, atau jika dikalkulasi sekitar 83 tahun empat bulan. Do’a pada malam itu begitu mustajab. Namun, waktunya tidak diberi tahu secara pasti oleh Allah SWT.
Banyaknya pahala dan kerahasian pada saat malam Lailatul Qadar sejatinya juga sebagai motivasi agar umat Muslim meningkatkan produktivitas kerja, bukan malah memperbanyak tidur dan bermalas diri. Mereka yang memperbanyak ibadah atau meningkatkan produktivitas kerja pasti akan mendapat pahala berlipat ganda. Semoga bermanfaat! (Aziz)






[1]Dinukil dari Ibnu Bukhait dalam Juz-nya-sebagaimana di dalam Syahr al-Ihya ‘Ulum ad-Dhien (7/ 401) dari jalan Muhammad Ibnu Sulaiman Ibnu Abi Dawud dari Suhail Ibn Abi Shalih dari Abi Hurairah.
[2]فتح الباري لابن حجر – (ج 15 / ص 121
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

0 komentar :