SANTRI : MELUNASI RESOLUSI JIHAD KEMERDEKAAN




Pada era kemerdekaan, ada peristiwa besar yang mendahului lahirnya pertempuran besar melawan penjajah, 10 November 1945. Perjuangan arek-arek Surabaya. Yaitu, adanya fatwa Resolusi Jihad yang digulirkan pendiri ormas Nahdlotul Ulama’ (NU) Hadrotus Syekh Hasyim Asyรกri pada tanggal 22 Oktober 1945. 


Salah satu esensi dari fatwa tersebut adalah mewajibkan umat Islam untuk mengangkat senjata melawan penjajah belanda dan sekutunya, yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Fatwa Resolusi Jihad tersebut, merupakan wujud kecintaan ulama’ terhadap bangsa ini, sekaligus komitmen para santri untuk mengisi kemerdekaan Indonesia yang telah di deklarasikan 3 bulan sebelumnya.

Walaupun hanya bersenjatakan seadanya, semua santri siap bertempur melawan penjajah. Tidak hanya di Surabaya saja, radius safar qoshr (83Km), masih wajib hukumnya untuk turun tangan berjihad, bahkan selebihnya dianjurkan untuk saling membantu dengan bentuk materi ataupun yang lain.

Sebagai santri, arti kemerdekaan sangat penting. Dalam kazanah klasik pesantren, ada 4 bentuk murodif (persamaan kata) yang berarti ‘merdeka’ : Itqun,Fakku,Tahrir dan Istiqlal (bentuk kata modern yang sering dipakai). Hemat penulis, kesemuanya merupakan herarki. 

Pertama, Itqun kita artikan sebagai merdeka dari penjajahan, dan intimidasi bangsa lain. Suatu bangsa bisa dikatakan merdeka, kalau secara pengakuan hukum (de jure) sudah tidak terkengkang dengan bangsa lain. 

Kedua, Fakku, bisa diartikan dengan kemerdekaan kelas. Di Amerika dikenal dengan politik apartheid. Setelah merdeka dari kecaman bangsa lain, suatu bangsa juga harus memberikan hak yang sama terhadap masyarakat. Tidak ada membedakan menjadi kelas-kelas tertentu. Tidak ada kulit hitam, ataupun kulit putih, Semua satu 'warna'.

Ketiga, Tahrir, lebih sering diartikan demokrasi atau kebebasan berpendapat. Adanya kesamaan hukum antara satu dengan yang lain. Hak suara sama. Dan semua dilindungi undang-undang.

Dan yang terakhir, adalah kata Istiqlal. Setelah lepas dari penjajah, tidak ada kelas, merdeka dalam bersuara, juga harus ada independensi Negara. Mandiri. Tidak tergantung dengan negara lain, baik secara kedaulatan hukum ataupun ekonomi.

Oleh karena itu, tugas santri dekade ini adalah melunasi yang belum terbayar. Setidaknya, ada dua ‘PR’ penting yang harus diselesaikan. Menjaga demokrasi dan kemandirian negara. 

Santri atau pondok pesantren (khususnya) harus berperan penting dalam menjaga demokrasi. Ditengah maraknya ideologi-ideologi oplosan yang berkembang. Mereka berkeinginan untuk memecah belah keutuhan kebebasan di Indonesia. Ajaran-ajaran yang bersifat mutawasith atau moderat, harus terus menerus digulirkan dan menjadi patokan. Jangan sampai bangsa Indonesia menjadi lautan api, untuk kedua kalinya.

Kemudian, santri harus mandiri. Independensi Negara (dalam ranah ekonomi tentunya, red.) tergantung dengan kapasitas masyarakat dalam mengolah ekonomi. Jika usaha mikro mengalami peningkatan, tentunya negara juga mempunyai kesempatan lebih untuk bergerak maju. Hal ini, bukan berarti mengarahkan pondok pesantren untuk mencetak santri yang siap kerja. Layak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau kursus pelatihan yang lainya. Akan tetapi, pondok pesantren lebih menekankan pada penggodokan atau ‘penggemblengan’ (jawa red.) mental mandiri. Yang akhirnya, pesantren akan memiliki output yang kuat, yang punya mental untuk mendirikan usaha sendiri, bukan sebagai kaum pekerja.

Jika kedua hal tersebut bisa tercapai, negara Indonesia akan kedua kalinya beterimakasih kepada para santri. Pertama, untuk yang telah memperjuangkan kemerdekaan. Kedua, untuk yang telah mengisi kemerdekaan. (NS)           
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 12 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Sumatra.

1 komentar :

tsamrotul khajeniyyah mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.